Mustahil adalah sebuah kata yang secara harfiah bermakna “tidak mungkin terjadi”. Sinonim kata “mustahil” dalam KBBI adalah “absurd” yang bermakna “tidak masuk akal”. Mustahil dalam bahasa inggris “impossible” dan bahasa latin hampir mirip namun dengan pelafalan yang berbeda “impossibile”. Maknanya juga sama yaitu “tidak mungkin terjadi”. Namun pertanyaannya, apakah “tidak mungkin terjadi” adalah makna tunggal dari “mustahil” ??
Apakah segala sesuatu yang tidak ada atau tidak dapat dihadirkan dalam realitas dengan serta merta dapat dijustifikasi sebagai sesuatu yang mustahil ? dan sebaliknya apakah segala sesuatu yang sifatnya mustahil, ketika dikaitkan dengan Kekuasaan Tuhan bisa juga dengan serta merta menjadi mungkin dan tidak mustahil ? Hal seperti ini penting untuk diurai lebih lanjut, demikian pula beberapa pertanyaan menarik yang berkaitan dengan masalah paradoks Kemaha Kuasaan Tuhan (Omnipotence Paradox) yang seringkali diajukan dalam perdebatan, seperti :
- Apakah Tuhan dapat menciptakan sebuah batu besar yang saking besarnya Tuhan sendiri tidak dapat mengangkatnya ?
- Apakah Tuhan dapat menciptakan Tuhan lain yang serupa dengan diri-Nya ?
- Apakah Tuhan mampu mengeluarkan seseorang dibawah kekuasaan-Nya ?
Kenapa pertanyaan – pertanyaan seperti ini dianggap paradoks ??
Karena pertanyaan pertanyaan seperti ini dan semisalnya ingin mengkondisikan jawaban hanya pada “ya” atau “tidak” dan keduanya memiliki konsekuensi yang sama-sama melemahkan Ke-Maha Kuasaan Tuhan;
- Jika jawabannya “mampu”, maka itu menunjukkan bahwa Tuhan memiliki kelemahan karena tidak mampu mengangkat sebuah batu, tapi jika jawabannya “tidak mampu”, maka itu menunjukkan bahwa Tuhan tidak Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu;
- Jika jawabannya “dapat”, maka itu berarti Tuhan itu tidak Esa, tapi jika jawabannya “tidak dapat” maka itu berarti Tuhan tidak Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu;
- Jika jawabannya “mampu”, maka berarti ada orang yang tidak tunduk pada Kekuasaan Tuhan, tapi jika jawabannya ‘tidak mampu” maka berarti Tuhan tidak Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu;
Untuk memperoleh jawaban yang tuntas dan memuaskan terkait pertanyaan seperti ini, maka perlu kita fahami dahulu apa keterkaitannya dengan konsep kemustahilan;
JENIS JENIS KEMUSTAHILAN
Di dalam buku “Ilmu Maqulat” karangan Muhammad Nuruddin terdapat penjelasan menarik terkait konsep kemustahilan. Namun, pertama-tama terlebih dahulu perlu diketahui bahwa dalam ilmu kalam, defenisi mustahil itu sendiri adalah “sesuatu yang tidak menerima keadaan” (ma laa yaqbal al wujud) atau “sesuatu yang tidak mungkin ada”. Lawan dari “mustahil” adalah “mumkin” yaitu “sesuatu yang bisa menerima keadaan” dan keadaan itu bisa “ada” dan bisa “tiada”;
Terdapat 3 (tiga) macam bentuk kemustahilan yang selayaknya harus dikenali, yaitu:
1). Kemustahilan yang disebabkan oleh dirinya sendiri (mustahil lidzatihi)
2). Kemustahilan yang disebabkan karena sesuatu yang lain (mustahil lighairihi) dan
3). Kemustahilan yang memiliki korelasi dengan sesuatu yang lain (mustahil bilqiyas ilal ghair)
Penjelasan :
Kemustahilan yang disebabkan oleh dirinya sendiri (mustahil lidzatihi)
Yaitu sesuatu yang tidak mungkin ada, dan ketidakmungkinannya itu disebabkan karena dirinya sendiri. Sebagai contoh misalnya ada yang mengatakan “gambarkan sebuah lingkaran yang berbentuk kotak”. Atau misalnya pernyataan “ada sebuah buku yang berada diatas meja namun pada saat yang bersamaan buku itu juga berada diatas lantai”.
Kondisi seperti ini, jangankan ada dalam realitas, sekedar dibayangkan dalam imajinasi alam pikiran saja tidak bisa. Mustahil Lidzatihi adalah kondisi yang tidak akan pernah terjadi dan tidak dimungkinkan sama sekali untuk terjadi.
Kemustahilan yang disebabkan karena sesuatu yang lain (mustahil lighairihi)
Jika ada yang mengatakan “Mustahil kamu akan jadi presiden, jika sekolah saja kamu malas”. Pertanyaannya, apakah kalau saya malas sekolah, saya benar benar mustahil jadi Presiden ? Pada umumnya orang akan mempersepsikan demikian. Bahwa mustahil orang dapat jadi Presiden kalau malas sekolah. Namun kemustahilan itu disebabkan oleh sesuatu yang lain, bukan karena dirinya sendiri. Kemustahilan dalam konteks ini disebut kemustahilan karena sesuatu yang lain (mustahil lighairihi). Mungkin terjadi dan mungkin juga tidak terjadi. Artinya masih tetap ada kemungkinan “orang jadi Presiden meskipun sekolah tidak rajin” dan secara realitas memang sudah ada fakta dimana ada orang yang dipersoalkan sekolah dan ijazahnya tapi bisa jadi presiden.).
Contoh lain misalnya “di surga nanti orang akan bepergian dengan menggunakan permadani terbang”. Pernyataan ini meskipun sah-sah saja dikatakan sebagian orang sebagai suatu hal yang mustahil, namun kemustahilannya juga bukan karena dirinya sendiri, karena kondisinya terikat pada suatu tempat tertentu (yi: surga) yang secara logika mungkin ada dan tidak bertentangan dengan nalar serta masih dapat dihadirkan dalam imajinasi alam pikiran. Kemustahilan dalam konteks ini, juga berarti masih mungkin untuk terjadi (mumkin lidzatihi) karena masih menerima keadaan.
Kemustahilan yang memiliki korelasi dengan sesuatu yang lain (mustahil bilqiyas ilal ghair)
Kemustahilan jenis ini, nanti dikatakan mustahil jika kondisi lain yang merupakan prasyaratnya terpenuhi. Atau dengan kata lain, kemustahilannya disebabkan karena hubungannya dengan sesuatu yang lain. Sebagai contoh misalnya pertanyaan “adakah suami yang tidak beristri ?” atau “adakah istri yang tidak bersuami ?”. Hal ini mustahil terjadi karena seorang laki-laki nanti dikatakan suami kalau dia memiliki istri dan sebaliknya seorang perempuan nanti dikatakan istri kalau dia memiliki suami. Jika ada laki-laki yang tidak memiliki istri maka itu berarti kalau bukan dia bujang maka dia adalah duda. Jika ada perempuan yang tidak memiliki suami berarti kalau bukan dia seorang gadis maka dia adalah janda;
Contoh lain misalnya sebuah pertanyaan “mungkinkah ada mahluk hidup yang tak butuh kepada makan dan minum ?” atau “mungkinkah ada seorang Pegawai Negeri Sipil yang tidak memiliki Nomor Induk Pegawai (NIP) ?” atau “rumah yang tidak memiliki ruangan” Semuanya adalah contoh Kemustahilan karena hubungannya dengan sesuatu yang lain. Mahluk hidup selalu butuh kepada makan dan minum dan Pegawai Negeri selalu diidentifikasi dengan Nomor Induk Pegawai dan terakhir rumah dibuat tujuannya adalah memang untuk menghadirkan ruangan.
MENJAWAB PARADOKS KEKUASAAN TUHAN (OMNIPOTENCE PARADOKS)
Nah, kembali kepada persoalan yang ingin kita jawab.
- Apakah Tuhan dapat menciptakan sebuah batu besar yang saking besarnya Tuhan sendiri tidak dapat mengangkatnya ?
- Apakah Tuhan dapat menciptakan Tuhan lain yang serupa dengan diri-Nya ?
- Apakah Tuhan mampu mengeluarkan seseorang dibawah kekuasaan-Nya ?
Pertanyaan seperti ini sejatinya sudah sejak lama diajukan yaitu sekitar abad ke-12 Masehi. Dengan memahami konsep kemustahilan, maka pertanyaan seperti ini dapat dengan mudah untuk dijawab, namun jawabannya tidak bisa hanya sekedar “ya” atau”tidak”. Kenapa ?? karena dalam pertanyaan itu sendiri tersirat kekeliruan berfikir. Pertanyaan yang mengandung kekeliruan tentunya akan melahirkan jawaban yang juga sama kelirunya sehingga dikategorikan sebagai pertanyaan yang tidak bermakna (meaningless question). Lalu dari sisi mana kekeliruannya ?
Pertanyaan tersebut hendak mengasosiasikan Kekuasaan Tuhan pada sesuatu yang bersifat “tidak menerima keadaan karena dirinya sendiri” atau mustahil lidzatihi sebagaimana telah dijabarkan. Sementara Kekuasaan Tuhan hanya berkaitan dengan “sesuatu yang mampu menerima keadaan” saja (mumkin). Adapun sesuatu yang sifatnya mustahil lidzatihi, sama sekali tidak bisa menerima keadaan baik “ada” maupun “tiada”. Atau dengan kata lain, Kekuasaan Tuhan dapat berlaku pada kemustahilan yang bersifat mustahil lighairi dimana kebanyakan mu’jizat para Nabi, berputar pada kondisi ini (mustahil lighairi).
Nabi Musa dengan tongkatnya bisa membelah lautan, secara realitas di dunia nyata saat ini mustahil terjadi, tetapi kemustahilannya bukan berarti laut tidak menerima keadaan untuk bisa membelah. Faktanya itu pernah terjadi dan tidak tertolak secara logika, masih dapat diimajinasikan dalam alam pikiran. Demikian pula Nabi Ibrahim yang tidak terbakar ketika dilemparkan ke dalam api yang berkobar. Secara realitas juga mustahil, tapi bukan berarti api tidak menerima keadaan untuk tidak membakar dan faktanya juga terjadi.
Sehingga kesimpulan dalam uraian ini bahwa Qudrah atau Sifat Kekuasaan Tuhan untuk mengadakan dan meniadakan sesuatu, berkaitan dengan sesuatu yang mampu menerima keadaan “ada” dan “tiada” secara setara, entah dia mumkin lidzatihi atau mustahil lighairihi namun tidak termasuk mustahil lidzatihi.